Rabu, 03 Februari 2016

Hapus Air Matamu, Husna


selamat tidur. hai, bagaimana aku seharusnya menggambar wajahmu? sudah dua kali kucoba pada kertas, ia lalu robek. aku berusaha mengingat ngingat kembali, masalah kemudian datang yang lain. pensilku patah, berdarah. seperti darah air mata atas kepedihan hatimu selama ini. ah, bukan. bisa jadi itu hanya bentuk gumpalan engkau berkorban dengan darah. aku kembali gagal gambar wajahmu. sekali terbayang, anggun sangat.


apa kita pernah bertemu sebelumnya, husna? aku mencoba mengingat kembali masa beratus hari hari yang ku lalui. begitu sulit sekali membayangkan wajahmu, aku hanya menerka nerka engkau berdiri di halte itu. sebuah sore, entah sedang berteduh dari basah hujan. atau engkau sedang menunggu seseorang? 

aku seperti melihat. basah kedua bola matamu. aku tidak tau engkau sedang menangis merindukan seseorang. atau sedang meratap kesedihan. tapi adakah rindu yang harus bersedih, husna? mungkin aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. bisa jadi basah bola matamu karena derap air hujan sore itu, begitu deras. tetapi kenapa wajahmu murung sekali. 

antara kita butuh duduk berdua di tempat tenang nan sepi, tanpa bicara, hanya saling menatap. aku ingin sekali mengusap bulir air matamu. perlahan dengan lembut. tapi tanganku kasar, sebagai pekerja berat engkau mesti mengerti tentang kenapa tangan pria tampak kasar. 

kemudian saling berpisah dengan kesimpulan masing masing dalam hati kita. kita bisa bertemu pada alasan saling kehilangan. mungkin juga bernasib sama pada; kesepian.  sedikit bicara masa lalu, dan masa depan tentang arah tujuan hidup kita.

husna, tidak ada kekecewaan abadi. ini cara Tuhan mengajarimu untuk bisa terus bertahan, tentang waktu. tentang kesimpulan pada takdirNya []

Ruang Gelap
SelayangPandang. Diberdayakan oleh Blogger.