Minggu, 27 Desember 2015

Halte dan Bising Air Mata Kita



Engkau tau Husna..., bagaimana aku harus memendam amarah -juga resah- atas keputusanmu meninggalkan niat baik diriku mengharap kasih dan sayangmu? Ah, kenapa pula ada pengakuan mengharap. Bukankah cinta tak ada saling mengharap, tapi saling memberi dan membuka diri? klise sekali kurasa itu. Engkau tak perlu juga tau seperti apa malam malam seterusnya bakda mendapat kabar darimu. Tentang keputusan penting itu bagi masa depan jalan hidup kita masing masing; aku demikian sulit memejam mata, selepas keputusan itu.

Sore pengantar kita duduk di halte. Senja seiring perlahan turun. Lama aku menunggu engkau hadir, sudah lebih waktu berlalu. Engkau datang dengan tergopoh gopoh. Wajahmu tampak raut resah gelisah. Aku tetap meyakinkan hati bahwa semua akan baik baik saja. Ku hadapi wajahmu yang gelisah itu dengan tampak santai seolah tak ada persoalan.

"kita duduk di warung depan saja?" ajakku dengan senyum. masih menunjukkan tak ada masalah apa-apa. engkau menolak ajakan itu sambil menggeleng. "kita bicara di sini saja, aku tidak bisa lama-lama" sanggah engkau dengan tak memandang ke arahku. Wajahmu cemberut.

Engkau duduk di samping kiri. Mengambil telepon seluler dan melihat sesuatu. Aku memandang ke arah jalan. Ku tahan dengan keras supaya tak ada wajah sedikit pun muka tampak gelisah. Lima menit berselang kita tidak ada bicara apa apa. Engkau masih sibuk memencet tombol telepon.

"apa kita sudah bisa mulai berbicara?" resmi sekali pertanyaan itu. engkau seperti menghadapi seorang pewancara kerja. lucu sekali suasana itu. aku benar benar tidak suka suasana yang demikian rumit ini.

"tak ada lagi yang perlu kita bicarakan, semua sudah jelas seperti isi sms tadi. Ayah tidak yakin engkau bisa memberikan kebahagian pada masa depanku" Ujarmu menjelaskan. Wajahmu menatap ke jalan, bukan ke wajahku. Suaramu sedikit parau, aku merasa begitu berat sekali engkau katakan itu. suaramu tersedak. seperti orang tertahan tak jadi menangis.

"Ya sudah, tak perlu lagi dipertimbangkan. Kita memilih jalan masing masing dalam doa dan harapan masa depan sendirian. tak bisa lagi berjuang untuk bertahan hidup bersama, dalam jiwa dan seperasaan" kujawab dengan lambat, tapi suaraku tetap tegas. tak ada jeda. aku menatap wajahmu. kali ini engkau tak bisa lagi sembunyikan perasaan sedih. wajahmu basah. ingin ku rapatkan tanganku, ingin ku rebahkan kepalamu ke bahu ini. Engkau kemudian menangis, sekali saja tersedu-sedu. Seterusnya engkau membiarkan air mata itu mengalir, membasahi pipi manismu. Tak juga kutahan tangis itu. Perempuan kalau sedang menangis, ia seperti air bandang kala hujan deras. Tak bisa ditahan, ia mesti dibiarkan tumpah selepas, sehabisnya, seterusnya sampai selesai.

Lalulintas jalan tak begitu kita hirau. Orang di jalan sibuk mengurus mengelak kenderaaan lain mencuri berebut jalan raya. Sore adalah suasana paling sibuk di kota. Kita memilih tak menjauh dari halte itu. suara bising klakson mobil bersahutan. Kita memilih diam, aku menatap wajahmu penuh menyesal. Menyesal kenapa kita kemudian membunuh perasaan dan harapan bahagia kita masing masing. Harapan itu sama-sama kita lepas pergi, seiring senja yang perlahan turun. Suara azan magrip memanggil di masjid. Kita masing masing masih diam diri. Tak ada suara bersenda bersama. Aku membenci sekali suasana ini, tapi kita akan melewati masa sulit. Mengenang dan membunuh kenangan ini secara diam dan perlahan. Berat sekali, dik Husna.

Selepas azan, aku melepas kepergianmu. Aku masih ingat, kusarankan engkau sembahyang di masjid sebagai tempat kita mengadu pada yang maha pembolak balik hati. Kita tak bisa melawan atas takdirNya. Hanya sebuah keikhlasan yang membuat kita bisa dan terus ada sampai sekarang. Selepas kita, kita tak pernah lagi bertemu. Hanya sekali saja 4 bulan kemudian engkau bertanya kabar atasku. kukira, itu hanya basa basi.

Aku masih ingat benar, bagaimana engkau meyakinkan keraguan ku padamu. Bahwa hidup demikian bahagia dan mudah jika saja kita mau hidup bareng-bareng. Aku terperosok kala itu, dalam hipnotis dan alasan alasan penting yang engkau berikan. Engkau hanya mengatakan sederhana saja: kita sama-sama memulai dari awal. aku tentu saja menolak hidup di bawah bayangmu. engkau kemudian meyakinkanku, bahwa jika saja kita resah tidak tau makan apa esok hari, itu artinya kita meragukan kehadiran Tuhan sebagai yang maha pemberi.

Kutulis catatan buruk ini, sebagai bagian untuk mengingat ada pada suatu masa nantinya. Sebagaimana judul buku Eka Kurniawan yang engkau hadiahkan: Seperti Dendam, Rindu Harus di Bayar Tuntas! []
SelayangPandang. Diberdayakan oleh Blogger.